Banyak Perempuan Aceh menjadi korban kejahatan pemerkosaan, waspadai rumah kost yang selalu membawa mala petaka

Sabtu, 07 Februari 2009

Luka Perempuan Sepanjang Zaman

Ketika Medusa diperkosa Poseidon, Athena justru mengutuk sang dewi dan membiarkan si Dewa Laut yang kurang ajar terus berkeliaran. Medusa yang lembut berubah menjadi Gorgones, makhluk buruk rupa yang menyeramkan. Di kepalanya tumbuh ular-ular berbisa dan dari mulutnya menyeringai cakar binatang liar. Matanya memancarkan api kemarahan sehingga setiap laki-laki menghindar darinya, takut menjadi batu. Medusa menjadi iblis perempuan yang meneror kota dan sekali lagi harus menerima nasib: dipenggal lehernya oleh Perseus, pahlawan Athena, yang oleh Homer, bapak para penyair, disebut sebagai the most renowned of all men.

MITOLOGI sesungguhnya adalah sosiologi kekuasaan, sosiologi misoginis," tegas pengamat sosial politik Rocky Gerung. "Di sana teks politik peradaban disimpan, teks tentang cara kekuasaan menyelenggarakan pemerkosaan. Bila kaum feminis mendidih, alasannya benar, rape is not about sex. It’s about power!"

Pemaparan Rocky Gerung tentang Medusa mengerangkai diskusi publik bertema "Perlindungan terhadap Perempuan di Wilayah Konflik: Menyoal Kasus Pemerkosaan di Aceh" yang diselenggarakan di Jakarta, pekan lalu, oleh Imparsial, organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang monitoring penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

"Pemerkosaan terjadi dalam situasi damai maupun perang," ujar Munir. Direktur Imparsial ini mengatakan, yang membedakan adalah tujuannya. Namun, karena korbannya sama, perempuan, ia melihat sebab utamanya adalah ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. "Apa arti damai ketika ada relasi kuasa yang tidak adil terhadap perempuan?" tanya Munir, yang juga mempertanyakan interpretasi antara "kuasa" dan "perkosa" di wilayah-wilayah konflik, khususnya Aceh, pada saat ini.

Karena ada soal kekuasaan, Rocky Gerung seperti memberi jawaban telak. "Lebih dari sekadar kriminalitas, pemerkosaan harus diusut sebagai peristiwa politik," tegas staf pengajar pada Jurusan Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini. Pada pemerkosaan, si pelaku melihat korban sebagai mangsa yang tidak akan melawan; sesuatu yang berbeda dengan peristiwa kriminal biasa.

SEJUMLAH fakta pemerkosaan pada masa damai dipaparkan oleh Ita F Nadia dari Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai alat meredam disharmoni dalam masyarakat. "Kasus Marsinah dan Titi Sugiarti, keduanya buruh dan aktivis buruh, yang diperkosa dan dibunuh sampai sekarang belum terselesaikan kasusnya," ujar Ita.

Ita juga memaparkan kasus-kasus pemerkosaan dan serangan seksual yang terjadi di wilayah-wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), seperti Timor Timur (dulu) dan Aceh, dan saat terjadinya kerusuhan, seperti peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta.

"Sejak aneksasi Indonesia ke wilayah Timor Timur pada tahun 1975, banyak yang menandatangani surat pernyataan bahwa mereka telah diperkosa oleh tentara dan melahirkan anak. Beberapa perempuan diperkosa beramai-ramai karena dituduh mempunyai hubungan dengan kelompok resisten di gunung," papar Ita.

Pekerja kemanusiaan Ade Rostina Sitompul, yang bekerja untuk para korban di Timor Timur sejak akhir tahun 1980-an, juga memaparkan sejumlah fakta pahit yang hampir tidak terbayangkan di dalam peradaban modern saat ini. "Selain polanya sistematis, saya juga bertemu dengan korban pemerkosaan massal di Timor Timur pada tahun 1983. Peristiwa itu sendiri baru terungkap pada tahun 1987," ujarnya. Praktik-praktik semacam jugun ianfu, menurut Ade Rostina, juga dilakukan selama bertahun-tahun di Timor Timur.

Peristiwa serupa, menurut Ita, terjadi juga di Mindiptana, di sebelah atas Merauke, Papua. Ketika berkeliling ke Papua beberapa bulan lalu, Ita bertemu 10 saksi yang menyatakan bahwa di pos-pos militer, dipajang foto-foto perempuan setempat. Para perempuan itu menjadi seperti sandera yang tidak bisa keluar dari kampungnya karena diancam oleh tentara, tetapi sekaligus juga dianggap "sampah" oleh masyarakatnya.

Dua pekerja HAM ini memaparkan, praktik-praktik pemerkosaan dan serangan seksual terhadap perempuan di wilayah konflik seperti di Aceh saat ini tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di Timor Timur (dulu) dan di Papua. "Polanya juga sama," tegas Ade.

Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog, yang kini bekerja di organisasi nonpemerintah Yappika (Yayasan Penguatan Partisipasi, Insiatif, dan Kemitraan Masyarakat) menambahkan fakta-fakta kekerasan seksual yang dilakukan di Rumoh Geudong di Aceh. "Saya disiksa di Geudong. Saya ditelanjangi dan kemudian …..," papar Otto, mengutip beberapa kesaksian yang dituliskan ulang oleh Dyah Rahmany P dalam Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh (2001). "Suatu malam, kami perempuan diperintahkan untuk bangun. Katanya, ’hai babi, anjing, bangun!’ Kami ditendang ke sebuah lorong," begitu kesaksian beberapa perempuan, seperti dikutip dari buku tersebut.

"Pemerkosaan tidak bisa diinterpretasikan secara sempit, dengan penetrasi karena acap kali digunakan benda untuk merusak rahim perempuan," sambung Ita. Penggunaan pemerkosaan dalam konflik bersenjata mencerminkan wataknya sebagai teror khusus untuk menundukkan suatu bangsa atau etnis karena seksualitas perempuan adalah simbol penerus bangsa. "Rahim perempuan adalah pusat reproduksi biologis, sosial, dan politik," lanjut Ita, "Artinya, mati hidup suatu keluarga, kelompok, etnis, dan bangsa tergantung dari proses reproduksi perempuan."

Oleh karena itu, dalam pandangan tradisional, seksualitas perempuan, yaitu rahim perempuan menjadi hak milik (properti) dari keluarga, kelompok, etnis, dan bangsa, dan perempuan dianggap sebagai penerus kebudayaan, simbol keluarga, simbol komunitas. "Disini kita harus memahami apa maksud dari kata ’perempuan kami’ yang kerap diucapkan laki-laki," sambungnya.

"TUGAS politik predator adalah memangsa," tegas Rocky Gerung. Korban terus melihat dirinya sebagai mangsa dari sebuah nasib. Fatalisme ini, menurut Rocky, bersifat sosiologis. Ia ditanamkan sebagai tata bahasa kuasa dalam relasi laki-laki perempuan. Lalu melalui teknologi kebudayaan (dari puisi sampai doa, dari kamar tidur sampai medan perang) ia tumbuh sebagai knowledge.

Perempuan selalu menjadi korban pemerkosaan dalam situasi konflik bersenjata, oleh siapa saja. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, pemerkosaan merupakan tindak agresif dan penuh penghinaan. Laki-laki bersenjata memperkosa karena ia ingin memperlihatkan kekuasaannya.

Laki-laki bersenjata di wilayah konflik memperkosa karena ia ingin menjadi pemenang. Ia memperkosa karena perempuan dianggap sebagai musuh yang harus dihina dan ditiadakan. Ia memperkosa karena menganggap tubuh perempuan sebagai bagian dari pertempuran.

"Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat "pembersihan etnis," ujar Stiglmayer, mengutip para ahli dari komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia. "Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi."

Berbagai organisasi HAM menengarai praktik-praktik pemerkosaan di dalam perang digunakan sebagai "senjata perang". "Pemerkosaan terhadap perempuan oleh tentara di dalam atau di luar rumah secara bersama-sama dengan perempuan lain, dan dilakukan berkali-kali, harus dilihat memiliki tujuan politik, untuk mengintimidasi, merendahkan, menghina korban dan semua pihak yang terimbas dampak praktik tersebut," tulis Stiglmayer.

Artinya, tidak ada pemerkosaan yang dilakukan dalam situasi konflik yang tidak memiliki tujuan tertentu. Setiap perang memiliki motivasi sendiri-sendiri ketika menggunakan pemerkosaan sebagai salah satu strateginya. Motif kunci tentara Rusia yang memperkosa perempuan Jerman ketika Rusia menginvasi Jerman pada tahun 1945 adalah pembalasan dan dorongan untuk menghancurkan kebanggaan bangsa Jerman, yang merasa paling tinggi di antara segala ras di dunia. Motif pembalasan banyak dilakukan dalam perang oleh pemenang perang.

"Kekerasan menjadi alat dari negara totaliter," tegas Ita, mengutip Hannah Arendt (1966). Negara totaliter mempunyai elemen untuk pemaksaan identitas dan pemahaman nasionalisme menurut interpretasi ideologi negara yang berlaku.

Karena negara berada di balik logika kekerasan yang diciptakannya, maka menganiaya, membakar, membunuh, dan memperkosa adalah turunan logis dari kekerasan negara untuk memaksakan ideologinya pada suatu komunitas yang dianggap "menyimpang" dan menentang. "Di situ kekerasan menjadi sah dilakukan agar ideologi dominan negara tentang nasionalisme bisa berfungsi dengan baik," tegas Ita.

Keunikan tubuh perempuan dan posisinya sebagai properti dari sebuah bangsa atau etnis, menurut Ita, tidak luput dari konsep militerisme tentang sistem yang mendefinisikan pembedaan peran di dalam masyarakat, di mana laki-laki adalah pelindung dan perempuan sebagai pihak yang dilindungi.

Namun, dalam situasi konflik, peran itu dengan jelas terpatahkan. "Kalau dalam diskusi ini tidak disinggung tentang GAM, bukan berarti GAM tidak melakukan kekerasan. Tetapi, secara umum, laki-laki yang katanya mempunyai peran sebagai pelindung, justru melakukan tindakan yang buruk terhadap pihak yang seharusnya dilindungi, yakni rakyat sipil, dan lebih khusus lagi, perempuan dan anak-anak," ujar Rachland Nashidik dari Imparsial, yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut.

"PEMERKOSAAN di Aceh bukan hal yang baru . Sudah terjadi sejak dulu, bahkan sebelum Aceh menjadi DOM," tegas Otto Syamsuddin Ishak. "Perempuan menjadi korban karena menghancurkan perempuan berarti menghancurkan modus reproduksi Aceh," sambungnya. Otto justru menyoroti peran para pembela HAM dalam situasi konflik bersenjata di Aceh. "Saya meminta agar teman-teman yang dulu memfasilitasi para perempuan Aceh untuk bersaksi melakukan pengecekan di mana para survivor itu sekarang, apakah mereka masih hidup, terancam atau bagaimana," ujar Otto. Dalam situasi seperti saat ini, para perempuan itu bisa dituduh sebagai inong bale, pasukan perempuan dalam GAM, dan hal itu akan mengancam kehidupannya dan hidup keluarganya.

Otto juga menyesalkan sikap para pekerja HAM yang terkesan resisten menangani kasus-kasus korban yang terkait dengan pihak-pihak yang pro referendum. "Saya mempunyai kesan, para pekerja HAM selalu bersoal dengan sikap politik korban," sambung Otto.

Persoalan pemerkosaan acap kali juga tidak mendapat perhatian yang memadai oleh praktisi media massa. Pemerkosaan yang terjadi pada masa damai, sering ditulis secara main-main, dengan sikap menertawakan, bahkan menyalahkan korban, melalui penggunaan kata-kata yang bersifat manipulatif, seperti "menggagahi".

Di dalam situasi konflik, jurnalis lebih suka memotret kekerasan sampai ke detail yang membuat audience merasa mual. Inilah praktik pornography of violence, meminjam istilah antropolog Valentine Daniel dalam bukunya Charred Lullabies (1996). Praktik seperti ini tidak memberikan apa-apa, kecuali pemuasan diri sendiri. Sikap para jurnalis yang mengemuka dalam bahasa dan gambar ini tak bisa dilepaskan cara pandang kesejarahan yang misoginis mengenai kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.

Karena itu, wajar kalau Munir mempertanyakan bagaimana proses mencari jawab tentang relasi-relasi kuasa. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh data pemerkosaan. "Dalam angka kita tidak melihat penderitaan dan kehancuran yang disebabkan oleh relasi kuasa ini," sambungnya.

Lalu, dapatkah hukum bekerja sebagai ultimum remedium, sarana "mengobati" lukaluka korban? "Mustahil," sergah Rocky Gerung. Kenapa? Karena pemerkosaan adalah depersonalisasi absolut terhadap tubuh, martabat dan otonomi diri; perempuan dipaksa berpisah dari eksistensinya. "Pemaksaan itu sendiri sudah merupakan perusakan fisik dan hukum cuma berhenti di sini," sambungnya.

Lebih dari itu, pemerkosaan adalah penanaman kebengisan dalam kesucian diri. Seperti muntah yang ditumpahkan di atas kain putih, begitulah trauma membekas di sepanjang hidup. Perempuan menjadi asing dengan dirinya sendiri karena ia harus tinggal bersama musuh yang bersarang di dalam dirinya dan terus mengendalikannya. Karena itu, sesungguhnya rape is irreparable.

"Yang diperlukan adalah perlengkapan melebihi apa yang disediakan hukum," tegas Rocky. "Hukum tidak mengenal pengalaman perempuan. Reformasi hukum menghendaki intervensi pengalaman perempuan ke dalam bahasa baru hukum," sambungnya. Sambil berharap secara perlahan pada affirmative action, sambil meneliti konstruksi sosial yang pada dasarnya terbuka untuk direkonstruksi, harus dicamkan bahwa pemerkosa sebetulnya adalah lawan yang dapat dilawan.

Seperti dikemukakan Rocky Gerung menutup pemaparannya, "Duka hati Medusa ia simpan dalam sebait dendam… Luka yang mengubah madu hidup menjadi empedu, mengubah malaikat menjadi setan....Tetapi kisah Medusa masih berlanjut. Dari genangan darahnya yang wangi, lahirlah Pegasus, si kuda bersayap, yang kelak terbang ke surga dan menjadi mata air inspirasi para pujangga

0 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP