Banyak Perempuan Aceh menjadi korban kejahatan pemerkosaan, waspadai rumah kost yang selalu membawa mala petaka

Sabtu, 07 Februari 2009

Banyak Dara Aceh di Perkosa TNI

Vonis yang dijatuhkan Mahkamah Militer 1-01 Kodam Iskandar Muda di Lhok Seumawe terhadap tiga prajurit TNI anggota Batalyon Infantri Yonif 411/Pandawa Salatiga yang terbukti bersalah melakukan perkosaan terhadap empat perempuan di desa Alue Lhok, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara dianggap terlalu ringan. Tiga prajurit TNI tersebut hanya dijatuhi hukuman penjara 2,6 hingga 3,6 tahun.

Hukuman ini tergolong ironis jika dibandingkan dengan vonis lima tahun penjara yang dijatuhkan terhadap aktivis SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) hanya karena mempertanyakan kebijakan negara mengenai penerapan operasi militer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Azasi Manusia Imparsial Munir kepada pers di Jakarta, Selasa (22/7). ”Hukuman ini terlampau ringan. Kami mengkhawatirkan hukuman ringan ini seperti memberi lampu hijau untuk pengulangan persitiwa serupa di Aceh,” ujarnya.
Munir juga melihat vonis ringan itu dijatuhkan sebagai implementasi sempit dari semangat korsa (l’esprit de corps) yang bertujuan melindungi anak buah dengan alasan ”menjalankan tugas negara”. Menurutnya, alasan ini tampak membolak-balik logika.
”Justru dengan alasan menjalankan tugas negara, hukuman yang dijatuhkan mestinya lebih berat dibanding pelaku kriminal individu,” tegasnya.
Ketiga prajurit TNI tersebut secara nyata melanggar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ke-4 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang yang secara tegas melarang tindakan perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat. Termasuk pula di dalamnya pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (2) butir (e) Protokol Tambahan II (1977) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan terhadap Korban-korban Perang Non-Internasional.
Tindakan tersebut juga melanggar Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1979 yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No.7 tahun 1984.

Bahan Evaluasi
Menurut Munir, tindak perkosaan yang dilakukan prajurit di Aceh mestinya sudah diperhitungkan oleh para pembuat kebijakan penerapan daerah militer di Aceh. Sehingga implikasi dari penerapan daerah operasi militer, salah satunya adalah tindak pemerkosaan oleh prajurit, dapat dihindari. ”Penentu kebijakan juga harus bertanggung jawab, bukan hanya pelakunya saja,” demikian Munir.
Ia menegaskan, masalah perkosaan prajurit TNI terhadap perempuan Aceh tidak boleh hanya dilihat dari proses hukum, tapi juga sebagai bukti bagi pemerintah untuk dijadikan bahan evaluasi dalam rangkaian operasi militer di NAD.
Munir menyontohkan peristiwa Okinawa, kasus perkosaan tentara Amerika Serikat terhadap perempuan Jepang. Tindakan tersebut membuat pemerintah AS terdesak untuk mengubah keputusan politik mengenai penempatan pasukan di kawasan Okinawa. ”Indonesia harusnya bisa mencontoh hal ini,” harap Muni

0 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP