Banyak Perempuan Aceh menjadi korban kejahatan pemerkosaan, waspadai rumah kost yang selalu membawa mala petaka

Senin, 09 Februari 2009

Perempuan Punya Cerita: Para Perempuan Malang

Krisna Sen, akademisi film asal Australia, dalam jurnal Inside Indonesia edisi 29 menyebutkan fenomena perempuan di belakang kamera adalah bagian dari perubahan perfilman Indonesia pascareformasi. Sejak 1926 hingga sebelum reformasi, dalam catatan Sen, hanya 3 orang perempuan yang pernah menjadi sutradara. Itu pun tanpa mendapat respon terlalu menggembirakan, baik secara populer maupun artistik.

Sen juga benar untuk satu hal: persoalan perempuan kontemporer yang dipandang dari kacamata “perempuan” (jika tak ingin menyebutnya feminis) memang relatif baru karena pandangan semacam itu juga baru berkembang belakangan. Para sutradara dan produser yang berkarya di masa Orde Baru (baik lelaki maupun perempuan) tunduk pada pandangan patriarkis yang memang merupakan pandangan dominan masa itu (dan mungkin sampai sekarang).

Perempuan Punya Cerita yang merupakan kumpulan 4 film pendek tentang perempuan, memperpanjang daftar film Indonesia pascareformasi yang dibuat dengan mendekati subyek mereka dengan memakai perspektif perempuan. Sebelumnya, kita sudah melihat Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Eliana-eliana (Riri Riza), dan Berbagi Suami (Nia Dinata). Juga, dalam skala lebih luas dan longgar, Marsinah (Slamet Rahardjo). Dengan pernyataan tegas di berbagai materi publikasi film ini, maka Perempuan Punya Cerita menjadi film dengan sebuah pernyataan politik: perempuan sedang mendaku posisi mereka dalam ranah film di Indonesia.

Film ini dibagi dalam segmen-segmen: Cerita Pulau (sutradara Faitmah T. Rony dan skenario Vivin Idris), Cerita Yogyakarta (Upi dan Vivian Idris), Cerita Cibinong (Nia Dinata dan Melissa Karim) dan Cerita Jakarta (Lasja F. Sutanto dan Melissa Karim).

2

Cerita Pulau menceritakan tentang seorang bidan bernama Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) di sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Ia menjadi pusat kehidupan banyak orang, termasuk bagi perempuan yang disayanginya, Wulan (Rachel Maryam), seorang perempuan terbelakang mental. Hidup Sumantri sendiri tak mudah. Ia sakit kanker yang sudah rada gawat. Sumantri juga sedang diperiksa polisi akibat sebuah kasus aborsi yang dilakukannya. Padahal menurut Sumantri ia melakukan aborsi itu demi keselamatan pasiennya (sebuah premis yang mengingatkan kita pada Vera Drake karya Mike Leigh).

Tak cukup deraan-deraan itu, Sumantri harus menemukan Wulan diperkosa oleh segerombolan anak muda yang seolah datang khusus dari Jakarta untuk keperluan itu –memerkosa. Pengaduan Sumantri ke polisi tak dianggap karena statusnya yang masih menjadi tersangka atas kasus aborsinya itu. Bahkan nenek Wulan yang seharusnya membela, malahan mengambil keuntungan pribadi karena keluguannya. Ditimpa kesulitan seperti itu, Sumantri harus berhadapan pula dengan keputusan sang suami yang menambah ketidakberdayaannya. Sang bidan pahlawan itu pun harus mundur terpaksa dari perjuangannya dan hidup berlanjut tanpa ia bisa campur tangani lagi.

Para perempuan dalam kisah ini benar-benar tersudut. Tepatnya disudutkan, bahkan sejak kalimat pertama dalam kisah ini. Dokter yang memeriksa Sumantri, tanpa perasaan dan etika memberitahu Sumantri bahwa ia menderita kanker yang sudah gawat. Padahal pemeriksaan belum lagi tuntas. Dalam posisi domestik, Sumantri juga tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Ia tahu posisinya yang penting di pulau itu sebagai tumpuan hidup banyak perempuan, sehingga penting baginya untuk tetap tinggal di sana. Namun ia tak berdaya ketika suaminya memutuskan menjual rumah mereka.

Lebih malang lagi nasib Wulan. Ia tak hanya diperkosa, tapi bahkan pemerkosaannya pun direncanakan, kemudian pemerkosaan itu dijadikan olok-olok. Belum cukup lagi, para pemerkosanya juga bisa kabur dari tanggungjawab tindak pidana karena gabungan dari kemiskinan dan kelemahan sistem hukum yang menyulitkan pembuktian, sedangkan kesaksian Sumantri ditolak.

Cerita Pulau menggambarkan tekanan lingkungan dan tak memberi ruang sedikitpun kepada perempuan. Tak ada pilihan bagi perempuan kecuali pilihan yang tambah menyudutkannya. Mulai dari lembaga medis, lembaga penegakkan hukum, kekuatan finansial (baca: kelas menengah), hingga kehidupan domestik, semuanya menyudutkan perempuan.

Segmen ini berhenti pada keinginan untuk memotret. Ketidakberdayaan perempuan dipotret untuk menjadi semacam representasi bahwa perempuan di negeri ini memang tak berdaya dan perlu ditolong. Perempuan hanya menjadi semacam layang-layang yang pasrah diterbangkan angin dan tak punya kuasa sendiri mengendalikan arah.

Apakah hal semacam ini baru dalam film Indonesia? Tidak sama sekali. Bahkan sinetron TV swasta di Indonesia sudah cukup berhamburan gambaran semacam ini, yang dibuat tanpa kesadaran perspektif perempuan di dalamnya.

Pada Cerita Yogya, para perempuan juga sama tak berdayanya. Jika cerita pertama sumber ketidakberdayaan itu adalah lingkungan, maka pada cerita ini, sumbernya adalah kenaifan dan gullibility-nya anak-anak perempuan usia SMA itu.

Kisah dibuka dengan seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu yang hamil dan meminta pacarnya bertanggungjawab. Sang pacar mengelak enteng karena menurutnya si perempuan itu “digilir” (maaf untuk istilah yang tak simpatik ini) berempat bersama teman-teman satu geng si pacar. Anak perempuan ini marah, tapi ia tak bisa apa-apa. Ia mencari jalan lain, aborsi, tapi ternyata tak semudah itu. Aborsi demikian menakutkan. Mau tak mau salah satu dari empat laki-laki yang gemar membuka situs porno di warnet itu harus menikahi si hamil.

Sementara itu persoalan mereka diamati oleh seorang wartawan yang mengaku turis lokal, Jay Anwar (Fauzi Baadila), yang sedang mengunjungi kota itu. Jay terlibat dalam hubungan pertemanan dengan empat laki-laki yang menggilir si hamil. Ia juga menjalin hubungan dengan salah satu teman si hamil, Safina (Kirana Larasati). Jay menjadi semacam role model bagi gang anak SMA ini dan Safina tampak jatuh hati pada laki-laki tampan dan simpatik itu.

Film ini memang sebuah subversi dari Ada Apa dengan Cinta? Persahabatan anak berseragam putih abu-abu sama naifnya, sekalipun topik perbincangan mereka jauh berbeda. Bukan majalah dinding atau puisi dari lelaki bermata tajam yang bahan obrolan, tapi soal aborsi dan kepada siapa keperawanan akan dipersembahkan. Inilah sebuah potret yang hadir telanjang, termasuk perempuan berseragam putih abu-abu berjilbab yang asik saja merokok tanpa beban.

Perempuan juga tersudut tanpa ruang gerak dalam kisah ini. Mereka sedemikian naïf dan gullible. Bahkan ketika sudah dihamili, sang perempuan terlihat tanpa beban masih nongkrong bersama orang-orang yang menghamilinya. Penulis cerita film ini tak merasa perlu memberikan semacam redemption bagi korban: perempuan. Bahkan yang paling tidak gullible dalam film ini, Safina, ternyata juga menjadi korban dengan sangat mudah untuk diduga. Lagi-lagi penulis cerita ini tak memberikan redemption apa-apa. Pernyataan Safina di akhir cerita malahan menegaskan dan mengakui posisinya yang memang gullible.

Pada Cerita Yogya ini, kenaifan dan gullibility itu telah mengorbankan karakterisasi. Karakter-karakter yang ada dalam cerita ini menjadi bersifat satu dimensi. Mereka adalah tokoh-tokoh dalam stok cerita tak berdarah tak berdaging yang dihadirkan demi kebutuhan mengungkapkan maksud kreator. Mereka dikorbankan demi pernyataan. Celakanya, pernyataan itu tidak sepenuhnya demi membela perempuan. Cerita Yogya terlihat berambisi sekadar untuk mensubversi kehidupan anak SMA dengan seragam putih abu-abu mereka.

Para perempuan pada kedua segmen cerita ini berada pada puncak ketakberdayaann, baik karena sebab dari luar maupun dari diri mereka sendiri. Sedikitnya ada dua masalah dalam strategi penceritaan semacam ini. Pertama, potret semacam ini seakan mengekalkan posisi perempuan yang lemah, tak berdaya, perlu ditolong dan sial; sama sekali tak beda dengan sinetron-sinetron di TV. Maka pembelaan perempuan di sini masih berhenti pada pernyataan tentang nasib perempuan, belum membelanya.

Kedua, para perempuan dalam film ini menjadi korban dari pernyataan para pembuat film. Demi melakukan representasi potret perempuan, mereka menyudutkan dan menghajar perempuan baik dari luar (Cerita Pulau) maupun dari diri perempuan sendiri (Cerita Yogya). Tak terlihat ada simpati terhadap nasib perempuan, apalagi empati. Akibatnya, pernyataan pembuat cerita dan film jadi lebih penting ketimbang subjek yang mereka bela.

3

Cerita Cibinong tidak seambisius dua cerita pertama dalam memilihkan kenyataan bagi para perempuan. Kenyataan dalam Cerita Cibinong adalah rangkaian kemungkinan yang dipilih oleh kaum perempuan. Kenyataan memang masih menyudutkan, tetapi tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah orang-orang yang lebih mampu memilih. Lagi pula, penonton terlebih dulu diajak mengerti para tokoh ini sebagai manusia yang berdarah, berdaging dan punya mimpi. Akhirnya, ketika mereka tersudut, kita mengerti bahwa itu adalah buah dari pilihan mereka sendiri, tak semata-mata dipilihkan oleh para kreator.

Kita diajak mengenal Esi (Shanty) dan ambisinya yang sederhana. Sebagai seorang petugas cleaning service di bar tepi jalan di Cibinong, ia hanya berharap anaknya bersekolah dengan baik dan tak mengulangi nasib menyapu di bar murahan macam itu. Mungkin Esi ingin jadi penyanyi, tapi ia tahu diri. Maka dari jauh saja ia mengagumi Cicih (Sarah Sechan), primadona yang sudah mulai memudar, tapi dengan gravitasi yang masih besar. Salut untuk Sarah Sechan untuk ini.

Dan ketika godaan itu datang, Esi dengan mudah mengelak. Ia sadar bahwa mimpi yang dijual para lelaki yang datang ke bar itu adalah tipuan. Apalagi kalau soalnya sudah melibatkan Maesaroh, masa depan Esi. Namun Cicih yang seharusnya lebih paham soal macam ini, ternyata tertipu –dan kita paham kenapa ia tertipu. Maka ketika akhirnya Cicih mengajak Maisaroh (Ken Nala Amyrtha) ikut serta bersamanya, kita merasa sedang bersama-sama Cicih mengejar mimpi.

Tapi sayangnya sejak awal kita tahu kemana arah cerita. Kita hanya menantikan apa jalan keluar yang akan ditawarkan oleh pembuat film ini. Di sinilah pertaruhan kreator terjadi. Kita tahu bahwa kenyataan terhadap perempuan macam Cicih atau Maesaroh memang keras, dan film ini tak berani menghadirkannya karena mungkin terlalu pahit. Maka film ini pun membuatkan jalan pintas yang tak terlalu meyakinkan. Tapi, sudahlah. Kita pun mungkin tak cukup tega membuat Cicih dan Maesaroh menjadi bulan-bulanan kenyataan. Toh kita paham bahwa masalah bernama trafficking yang mereka hadapi mungkin jauh lebih pahit dari yang bisa digambarkan dalam film ini.

Segmen keempat, Cerita Jakarta, memperlihatkan porsi lebih besar lagi terhadap pilihan dan mimpi. Laksmi (Susan Bachtiar) seorang ibu rumah tangga, dan ia dihadapkan pada masalah terbesar yang mungkin ditemuinya. Ketika ia dituduh menularkan AIDS kepada suaminya yang baru saja meninggal akibat penyakit itu, dunianya tiba-tiba runtuh.

Dan runtuhnya dunia Laksmi tidak berjalan sedikit demi sedikit. Ia terancam kehilangan Belinda, anak semata wayangnya. Ibu mertua Laksmi (Ratna Riantiarno) tak percaya lagi padanya dan menekan Laksmi hingga ke posisi yang sangat menyulitkannya. Tak ada jalan bagi Laksmi kecuali pergi dari rumah dengan membawa Belinda. Tanpa pekerjaan jelas dan tanpa uang yang memadai untuk memulai hidup baru, Laksmi kabur dan mencoba mempertahankan kebersamaannya dengan Belinda.

Inilah cerita yang berhasil mengantarkan perjuangan perempuan dalam arti terkerasnya, justru dengan cara yang halus. Karakter Laksmi dan pemilihan Susan Bachtiar untuk bermain di segmen ini membuat cerita ini terlupakan sebagai sebuah kampanye tentang sikap antidiskriminasi terhadap penderita AIDS. Yang sampai adalah sebuah kisah universal tentang seorang perempuan yang berjuang dengan segala penderitaannya akibat penyakit dan yang ia tahu hanyalah menyayangi anaknya sepenuh hati. Maka kita paham bahwa dalam situasi semacam ini memang kaum perempuanlah yang selalu dirugikan oleh keadaan. Perempuan memang tersudut, ternyata, bukan sekadar karena keadaan yang terus menekan atau karena gullibility-nya. Perempuan tersudut bahkan ketika ia sedang mencoba meraih kebebasannya.

Pada segmen inilah perspektif perempuan baru hadir dengan baik. Karakter utama diberi kebebasan serta pilihan; dan empati selalu terbangun pada tokoh-tokoh yang memilih. Maka pada cerita ini saya merasa bahwa saya perlu membela perempuan bernama Laksmi itu, apapun penyakit yang dideritanya.

Kedua cerita terakhir yang skenarionya ditulis oleh Melissa Karim lebih taktis dalam menyampaikan muatannya. Ketimbang memilihkan kenyataan yang hitam putih dan karakter yang tipis, ia mengajak penonton memahami dulu mimpi, harapan dan pilihan-pilihan yang dihadapi oleh tokoh-tokohnya. Maka empati sudah terbangun sejak semula, dan ketika mereka tersudutkan, kita merasa perlu mengeluarkan mereka dari sana. Inilah sebuah bentuk komunikasi yang lebih persuasif dalam mengajak penonton memahami masalah.

Perempuan Punya Cerita memang berani mengambil sebuah risiko besar dengan mengumumkan diri sebagai film dari perempuan tentang perempuan. Pengakuan terbuka seperti ini tampaknya belum pernah dibuat sekeras ini dalam film Indonesia pascareformasi. Film seperti Pasir Berbisik atau Eliana-eliana membawa tema itu tanpa menyatakan bahwa film-film itu adalah film tentang perempuan.

Hasil keberanian itu adalah gambaran para perempuan malang dan tersudut. Kita mengerti betul bahwa kenyataan memang lebih hebat lagi dalam menyudutkan perempuan. Hanya, bukankah film dengan kepentingan bicara tentang perempuan lazimnya justru hendak mengeluarkan mereka dari sana atau mengajak penonton bersimpati dan kemudian berpikiran untuk membawa mereka keluar dari sana? Ketika pernyataan tentang perempuan lebih penting ketimbang membawa perempuan keluar dari posisinya yang tersudut, maka inilah jebakan para ideolog dan aktivis yang mendahulukan egotisme mereka ketimbang persoalan yang mereka bawa.

Untunglah bahwa film ini disusun dengan urut-urutan seperti ini. Dengan Cerita Jakarta, sebagai penutup, penonton masih bisa merasa simpati terhadap perempuan di akhir film. Maka jika Perempuan Punya Cerita dilihat sebagai satu film utuh, mungkin Lasja Fauzia has saved the day. Tapi ketika film ini memang berniat sebagai film ‘dari perempuan tentang perempuan’ maka sesungguhnya risiko yang sedang ditempuh fim ini memang terlalu besar.

Saya merasa para pembuat film ini lebih banyak kalah dalam pertaruhan itu

0 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP